Maraknya praktik korupsi (suap) tidak hanya terjadi di lembaga eksekutif dan legislatif, tetapi juga yudikatif. Salah satu modus korupsi di yudikatif adalah jual beli putusan, bahkan termasuk Mahkamah Konsitusi ( MK ) sangat rawan disusupi perilaku korupsi. Praktik korupsi di lembaga yudikatif banyak dilakukan oleh hakim dan panitera, salah satunya dengan memanfaatkan keberadaan Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal itu mengatur larangan putusan bebas diajukan upaya hukum banding atau kasasi oleh terdakwa atau penuntut umum. Ketentuan itu, bisa menjadi celah bagi hakim dan panitera leluasa mengubah putusan (pengadilan tingkat pertama, red) dengan cara membebaskan koruptor.
Pasal 67 KUHAP menyebutkan terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Namun, sejak diterbitkannya Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tertanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, pengajuan kasasi atas putusan bebas dimungkinkan. Kemudian, hal ini diperkuat dengan praktik lewat yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) Nomor : K/275/Pid/1983.
Pasal 67 jo Pasal 244 KUHAP yang dihubungkan dengan yurisprudensi MA itu pun pernah dimohonkan pengujian mantan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin. Tetapi, permohonannya kandas. MK menyatakan tidak berwenang mengadili permohonan pengujian pasal itu karena putusan MA Nomor : 275K/Pidana/1983 adalah suatu putusan dalam perkara konkret. Memang dalam praktik, ada beberapa terdakwa korupsi yang dinyatakan bebas di tingkat pertama, tetapi divonis bersalah di tingkat kasasi. Diantaranya, kasus Agusrin dan mantan Walikota Bekasi nonaktif, Mochtar Mohammad.
Jika keberadaan Pasal 67 KUHAP diterapkan secara ‘tegas’, maka praktik suap terhadap vonis bebas bisa terkonsentrasi di tingkat pengadilan pertama. “Koruptor bisa jor-joran, lebih baik menyuap di pengadilan negeri dengan harapan bisa bebas murni, sehingga tidak mungkin dikasasi. Persoalan ini harus menjadi catatan dalam revisi KUHAP ke depan. Pasal 67 KUHAP seharusnya direvisi mengikuti praktik yang berlaku saat ini, mengacu yurisprudensi MA. Seharusnya setiap vonis bebas tetap bisa diajukan kasasi, apalagi selama ini pengajuan kasasi vonis bebas masih dualisme, ada yang mengabulkan atau menolak.