Minggu, 11 Oktober 2015

Keberadaan Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pdana


     Maraknya praktik korupsi (suap) tidak hanya terjadi di lembaga eksekutif dan legislatif, tetapi juga yudikatif. Salah satu modus korupsi di yudikatif adalah jual beli putusan, bahkan termasuk Mahkamah Konsitusi ( MK ) sangat rawan disusupi perilaku korupsi. Praktik korupsi di lembaga yudikatif banyak dilakukan oleh hakim dan panitera, salah satunya dengan memanfaatkan keberadaan Pasal 67 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal itu mengatur larangan putusan bebas diajukan upaya hukum banding atau kasasi oleh terdakwa atau penuntut umum. Ketentuan itu, bisa menjadi celah bagi hakim dan panitera leluasa mengubah putusan (pengadilan tingkat pertama, red) dengan cara membebaskan koruptor.

     Pasal 67 KUHAP menyebutkan terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Namun, sejak diterbitkannya Keputusan Menteri Kehakiman Nomor : M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 tertanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP, pengajuan kasasi atas putusan bebas dimungkinkan. Kemudian, hal ini diperkuat dengan praktik lewat yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) Nomor : K/275/Pid/1983.

Pasal 67 jo Pasal 244 KUHAP yang dihubungkan dengan yurisprudensi MA itu pun pernah dimohonkan pengujian mantan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin. Tetapi, permohonannya kandas. MK menyatakan tidak berwenang mengadili permohonan pengujian pasal itu karena putusan MA Nomor : 275K/Pidana/1983 adalah suatu putusan dalam perkara konkret. Memang dalam praktik, ada beberapa terdakwa korupsi yang dinyatakan bebas di tingkat pertama, tetapi divonis bersalah di tingkat kasasi. Diantaranya, kasus Agusrin dan mantan Walikota Bekasi nonaktif, Mochtar Mohammad.

     Jika keberadaan Pasal 67 KUHAP diterapkan secara ‘tegas’, maka praktik suap terhadap vonis bebas bisa terkonsentrasi di tingkat pengadilan pertama. “Koruptor bisa jor-joran, lebih baik menyuap di pengadilan negeri dengan harapan bisa bebas murni, sehingga tidak mungkin dikasasi. Persoalan ini harus menjadi catatan dalam revisi KUHAP ke depan. Pasal 67 KUHAP seharusnya direvisi mengikuti praktik yang berlaku saat ini, mengacu yurisprudensi MA. Seharusnya setiap vonis bebas tetap bisa diajukan kasasi, apalagi selama ini pengajuan kasasi vonis bebas masih dualisme, ada yang mengabulkan atau menolak.

Minggu, 24 Maret 2013

Delik Santet

Semangat pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) kembali muncul menjelang akhir masa jabatan anggota Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) pada 2014. Walau terkesan basi, anggota Komisi III DPR Dimyati Natakusumah mengatakan, pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP ) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( RKUHAP ) akan dimulai lagi dari awal sejak pemerintah menyerahkan rancangan tersebut ke DPR. Sejumlah pasal karet masih menjadi perdebatan di berbagai kalangan. Seperti Pasal 293 mengenai santet, Pasal 485 mengenai kumpul kebo, dan Pasal 483 mengenai perzinahan. Dimyati mengaku, DPR masih memerlukan penjelasan dari pemerintah terkait penerapan maupun pembuktian beberapa tindak pidana itu. Rumusan Pasal 293 ayat (1) RKUHP mengatur, setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa yang dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik dipidana penjara paling lama 5 tahun. Apabila pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) melakukan perbuatan itu untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka sesuai Pasal 293 ayat (2), pidana dapat ditambah dengan sepertiga. Rumusan inilah yang belakangan ramai diperdebatkan.
Menurut Dimyati, Pasal 293 RKUHP lebih diperuntukan bagi orang yang mempromosikan praktik ilmu hitam. “Sekarang di media banyak sekali orang yang mempromosikan ilmu gaib, entah benar atau tidak, itu yang menjadi perhatian. Kalau ada yang merasa ditipu, nah ini deliknya,” ujarnya dalam sebuah diskusi, (23/3). Selain dapat menjerat pelaku yang menawarkan santet, rumusan Pasal 293 itu juga dibuat untuk melindungi dari aksi masyarakat yang cenderung main hakim sendiri. Dimyati mengungkapkan, selama ini, seseorang yang diduga memiliki ilmu hitam sering menjadi sasaran amuk massa, pembakaran, bahkan pembunuhan. Padahal, lanjut Dimyati, dugaan itu belum tentu benar. Bisa saja seseorang mengaku sebagai tukang santet, tapi pada kenyataannya hanya seorang penipu yang mencari uang untuk memperkaya diri atau keluarganya. Polisi pun terkadang berada dalam posisi sulit ketika hendak memproses pelaku pembunuhan dukun santet. Untuk mencegah dan meminimalisasi hal-hal seperti ini, Dimyati menyatakan, masyarakat yang merasa dirugikan akibat praktik santet dapat melaporkan dengan menggunakan Pasal 293. Pasal itu dimasukkan pemerintah guna mengatasi keresahan masyarakat akibat praktik ilmu hitam yang sulit dibuktikan secara hukum. Namun, pengamat Kepolisian Alfons Leumau merasa penyidik akan mengalami kesulitan membuktikan perbuatan santet. “Itu di luar ranah bidang pembuktian secara hukum dari tugas kepolisian. Artinya polisi tidak bisa menjangkau karena yang dipelajari di akademi, perguruan, dan fakultas hukum tidak membahas soal itu,” ujarnya.
Purnawirawan Polri ini menjelaskan, pengetahuan yang didapat polisi bersifat scientific investigation. Seluruh bukti dalam pengungkapan suatu perkara harus terukur. Polisi dilarang keras membuat penafsiran-penafsiran di luar ketentuan. Jangan sampai Polisi dianggap memberikan ketidakpastian hukum karena membuat penafsiran. Misalnya, seseorang menawarkan dan mengaku dapat melakukan santet, tapi ternyata penipu. Alfons berpendapat, polisi mungkin lebih memilih menggunakan jerat delik penipuan seperti yang saat ini diatur dalam Pasal 378 KUHP ketimbang menggunakan Pasal 293 RKUHP. Sebab, Pasal 378 KUHP dinilai lebih cocok diterapkan karena lebih realistis dari sisi hukum. Alfons berharap, jika fenomena santet mau dimasukkan menjadi delik dalam KUHP, sebaiknya ilmu pengetahuan mengkaji hubungan sebab-akibat itu secara ilmiah. “Ini menjadi persoalan baru yang tidak selesai-selesai karena tidak mudah dibuktikan. Bisa menimbulkan ketidakpastian hukum atau multitafsir,” tuturnya. Senada, pakar hukum pidana Andi Hamzah menganggap santet merupakan perbuatan yang tidak bisa dibuktikan secara yuridis. Dia tidak menampik ada beberapa hal di dunia yang tidak bisa dipecahkan dengan ilmu pengetahuan. Sebagai solusi, delik pidana dalam Pasal 293 RKUHP dibuat untuk menjerat pelaku di tataran hulu. Apabila ada orang yang mengaku bisa melakukan santet, orang itu sudah dapat dihukum. Ibarat mau membendung banjir di Jakarta, jangan biarkan hutan di Puncak ditebang. “Kalau ada orang mengaku-ngaku sebagai ahli santet, langsung bisa dihukum. Apa ternyata bisa atau tidak, sudah tidak menjadi persoalan,” terang Andi.
Andi mengisahkan dulu dirinya melihat seorang ibu yang yang sering membasuh mukanya setiap pagi dengan bara api tanpa terluka sedikitpun. Ketika ditanya bagaimana mempelajari ilmu tersebut, si ibu tidak tahu karena tidak pernah ada yang mengajarinya. Kemampuan itu dia peroleh secara turun-temurun. Sama halnya dengan ilmu gaib. Penjeratan di hulu menjadi penawaran alternatif untuk mengatasi fenomena santet yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan. Andi menilai, jika di tataran hulu sudah ditutup, tidak menjadi masalah orang yang mengaku bisa melakukan santet itu melakukan perbuatan atau tidak. Akan tetapi, pengaturan di tataran hulu dirasa tidak cukup oleh politikus sekaligus paranormal Permadi. Menurut dia, tanpa melakukan pengaturan terhadap kegiatan santet, delik Pasal 293 RKUHP hanya menjadi delik formil. “Kalau delik materil, tanpa mengikutsertakan santetnya sendiri tidak akan bisa membuktikan,” katanya. Permadi menyayangkan fenomena santet di Indonesia tidak diteliti secara khusus dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sementara, di luar negeri ilmu gaib itu menjadi sesuatu yang sangat berharga untuk dikaji, meski di luar nalar. Di Inggris contohnya, sudah pernah dilakukan tes penyembuhan oleh dokter dan paranormal. Sepuluh 10 dokter dan 10 paranormal diuji untuk menyembuhkan seseorang yang sakit parah. Permadi menceritakan, dokter mengambil sample darah untuk diteliti di laboratorium, sedangkan paranormal dengan cara lain. Setelah diadu dan dinilai dokter-dokter handal, ternyata hasilnya lebih tepat paranormal dan itu fakta. Dengan demikian, Permadi meminta apabila DPR melakukan pembahasan mengenai delik santet, sebaiknya mengikutsertakan pula ahli-ahli di bidang santet. “Kalau masalah santet dibikin sendiri oleh ahli-ahli yang tidak mengerti santet, bahkan tidak mengakui santet itu ada, lebih baik tidak usah (dibuat delik santet),” tandasnya.

Minggu, 02 Desember 2012

Embrio KUHAP Baru

Putusan praperadilan empat karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) menimbulkan pro dan kontra. Kejagung merasa hakim melampaui kewenangannya karena memutus penetapan tersangka tidak sah. Meski demikian, Kejaksaan tetap menghormati putusan hakim dan kemudian membebaskan keempat tersangka dari Rumah Tahanan.
Hingga kini, Kejaksaan masih menunggu salinan putusan praperadilan untuk mempelajari pertimbangan hakim terkait penetapan tersangka yang tidak sah. Putusan tersebut dianggap sebagian kalangan hukum sebagai suatu terobosan dalam menyongsong KUHAP baru. Salah satu yang berpendapat demikian adalah Mudzakir.

Pengajar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini mengatakan, dalam revisi KUHAP, Hakim Komisaris memiliki peranan penting dalam proses ajudikasi penanganan perkara. Selain menguji tindakan penahanan dan penangkapan, penetapan tersangka harus dapat diuji di proses ajudikasi.

“Kalau ada hakim yang berani memutus sah tidaknya penetapan tersangka, inilah embrio untuk menyongsong KUHAP yang akan datang. Penetapan tersangka menjadi kausalitas dari segala perampasan hak seseorang, seperti boleh ditahan, disita, bahkan ada yang diberhentikan sementara,” kata Mudzakir .

Mudzakir memiliki penjelasan tersendiri, mengapa hakim praperadilan dapat memutus penetapan tersangka tidak sah. Secara tekstual, KUHAP memang tidak mengatur kewenangan praperadilan dalam memutus sah atau tidaknya penetapan tersangka. Namun, awal dari penahanan tentulah penetapan seseorang sebagai tersangka.

Penahanan dapat dilakukan setelah seseorang ditetapkan sebagai tersangka. KUHAP mengatur syarat obyektif dan subyektif penahanan. Penahanan yang tidak sah belum tentu diawali penetapan tersangka yang tidak sah. Sebaliknya, penetapan tersangka yang tidak sah bisa membuat penahanan menjadi tidak sah pula.


Berdasarkan analogi itu, Mudzakir melanjutkan, hakim praperadilan mencoba mempertimbangkan, apakah penyidik telah memenuhi syarat-syarat sahnya sebuah penahanan. Apabila tidak terpenuhi, konsentrasi beralih pada penetapan tersangka. Seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana dapat ditetapkan sebagai tersangka.

Dalam menetapkan tersangka, KUHAP hanya mengatur adanya bukti permulaan yang cukup serta dugaan kuat seseorang telah melakukan tindak pidana. Mudzakir menginterpretasikan, penyidik harus memiliki minimal dua alat bukti sebelum menetapkan seseorang menjadi tersangka.

“Mengapa dua alat bukti? Kembali lagi interpretasi sistematis bahwa hakim menjatuhkan putusan dengan minimun dua alat bukti plus keyakinan hakim. Proses perkara itu nantinya berakhir di putusan pengadilan, sehingga dasar obyektifnya adalah dua alat bukti. Tidak boleh orang dijadikan tersangka duluan, baru dicari alat bukti,” ujarnya.

Penetapan tersangka sama artinya seseorang telah dinyatakan “dihukum” separuh dari pada hukuman pengadilan. Mudzakir mengibaratkan, kewenangan penyidik dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka sebagai “pengadilan pertama” sebelum seseorang menjalankan persidangan di pengadilan.

Oleh sebab itu, dalam tahap penyidikan, seorang tersangka diberi kesempatan untuk menyampaikan hak-hak hukumnya, termasuk mengajukan saksi, bukti, dan ahli. Kalau ternyata setelah dikomparasikan, saksi, ahli, dan bukti yang diajukan lebih kuat dari alat bukti penyidik, Mudzakir menganggap penyidikan harus dihentikan.
Sama halnya dengan putusan hakim praperadilan yang menyatakan penetapan tersangka tidak sah. Putusan tersebut harus ditindaklanjuti dengan penghentian penyidikan (SP3). Proses penyidikan dapat dibuka kembali jika penyidik menemukan alat bukti baru dan memenuhi syarat penetapan tersangka.

“Jadi, segera terbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) karena berdasarkan putusan pengadilan, penetapan tersangka tidak didasarkan bukti yang cukup. SP3 ini boleh dicabut dan dibuka kembali apabila penyidik menemukan bukti baru yang memenuhi syarat untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka,” terangnya.






Selasa, 13 November 2012

Semiloka Sosialisasi Standar Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan




Terlepas akan terbukti atau tidaknya Meirika Franola alias Olla mengendalikan jaringan narkoba dari dalam penjara, polemik terkait narapidana yang baru saja mendapat grasi dari hukuman mati ini harus menjadi pintu masuk untuk melecut perbaikan kinerja jajaran Direktorat Jendral Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. Gerakan anti telepon genggam, pungutan liar, dan narkoba, mendapatkan momentum dari kasus ini.

"Kasus Olla ini adalah contoh kuat kenapa kita harus melakukan review mendasar atas tugas kita," kata Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, pada penutupan semiloka sosialisasi standar pelaksanaan tugas pemasyarakatan, di depan jajaran pemasyarakatan se-Sulawesi, di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (10/11/2012). Olla baru saja mendapatkan grasi dari hukuman mati menjadi penjara seumur hidup tanpa pengurangan, ketika seorang kurir narkoba yang tertangkap di Bandung, Jawa Barat, mengaku pengiriman barang yang dibawanya dikendalikan Olla dari dalam penjara.
Grasi, ujar Denny, sudah melewati proses panjang, dengan fakta dan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemberian grasi Presiden diatur dalam konstitusi, dengan pendapat dari Mahkamah Agung. Dalam kasus Olla, pertimbangan bahkan juga diminta dari kabinet, seperti dari Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, serta Jaksa Agung.
Tapi, imbuh Denny, Kementerian Hukum dan HAM beserta jajaran Direktorat Jendral Pemasyarakatan tetap saja harus merasa ikut bertanggung jawab. "Bukan pada pemberian grasinya, tetapi pada dugaan masih saja ada jaringan narkoba yang dikendalikan dari dalam penjara," tegas Denny.

Kalau memang informasi dari kurir narkoba yang tertangkap tersebut benar, dapat dipastikan Olla memiliki setidaknya peralatan komunikasi atau akses untuk menjalin komunikasi keluar. Bila sampai ada alat komunikasi atau akses untuk mengendalikan jaringan tersebut, patut diduga suap juga terjadi.
"(Yang mana pun) pasti tidak akan terjadi kalau anti-halinar benar-benar ditegakkan," tegas Denny. Anti-halinar adalah penyebutan yang dimunculkan Denny untuk gerakan anti-telepon genggam (HP), pungutan liar (pungli), dan narkoba. Pertanggungjawaban yang harus diambil Kementerian Hukum dan HAM beserta jajaran pemasyarakatan adalah masih adanya peluang bagi narapidana melakukan pelanggaran semacam ini.

Olla dan Semiloka Pemasyarakatan
Heboh kasus Olla berbarengan dengan berlangsungnya serial semiloka sosialisasi standar pelaksanaan tugas pemasyarakatan. Semiloka di Makassar, adalah seri keempat dari enam penyelenggaraan yang direncanakan. Semiloka mengkaji dan merumuskan ulang beragam prosedur standar pengelolaan pemasyarakatan, dengan prioritas pada pengawasan dan perumusan indikator pemberian hak narapidana.

Termasuk dalam pembahasan adalah membangun mekanisme whistle blowing system, untuk mengoptimalkan pengawasan baik dari internal pemasyarakatan, warga binaan, maupun masyarakat. "Mendorong deteksi dini pelanggaran di dalam rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan," ujar Denny. Kalaupun petugas tidak tahu atau bahkan terlibat, menurut dia pasti ada narapidana lain yang tahu bila ada narapidana memiliki telepon genggam apalagi narkoba. Mekanisme ini juga bakal disinergikan dengan pengawasan eksternal, bersama instansi lain seperti Ombudsman.
Sementara untuk penentuan indikator pemberian hak narapidana, dari remisi hingga pembebasan bersyarat, diperketat. Pengetatan indikator antara lain berupa penentuan kriteria berkelakuan baik. Selama ini kriteria berkelakuan baik lebih banyak didasarkan pada ada atau tidaknya keterlibatan narapidana dalam persoalan fisik, seperti perkelahian.

Rumusan baru, akan memasukkan pelanggaran seperti kepemilikan telepon genggam sebagai pelanggaran berat, yang akan memasukkan narapidana bersangkutan dalam catatan Register F. Bila narapidana tercatat dalam Register F, dalam rentang waktu tertentu tidak akan mendapatkan hak pengurangan hukuman.Keberadaan tamping di dalam rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan, juga menjadi bahan pembahasan utama. Denny menyebutkan, ada indikasi tamping yang memiliki akses khusus dalam aktivitas pengelolaan pemasyarakatan, rentan menjadi penghubung dalam transaksi terkait narkoba, baik di dalam maupun di luar penjara. Tamping adalah narapidana yang dinilai berkelakuan baik, istilah yang muncul dari zaman penjajahan Belanda, yang kemudian diperbantukan untuk ikut mengelola operasional keseharian para tahanan dan narapidana.

Direktorat Jendral Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, juga mengembangkan sistem database pemasyarakatan (SDP). Seluruh rekam jejak narapidana, dari catatan kasus yang pernah dilakukan, kesehatan, hingga penempatan dan mutasi selama menjalani hukuman, akan terkonsolidasi di dalam sistem ini. "Akan menjadi rujukan ketika narapidana akan diusulkan mendapatkan hak peringanan hukuman. Meminimalkan subjektivitas, dibangun berdasarkan data," kata Direktur Infokom Direktorat Jendral Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Haru Tamtomo.